Hukum Acara Pidana - Tinjauan Umum



A. Pengertian Hukum Acara Pidana


Simon berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya  melaksanakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya (Het formele strafrecht regelt hoe de Staat door middel van zijne organen zijn recht tot straffen en strafoolegging doet gelden, en omvat dus het strafproces). Hal ini dibedakan dari hukum pidana material atau hukum pidana yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.

Menurut Van Bemmelen ilmu hukum acara pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.

Menurut Van Hattum, hukum pidana formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata (Het formele strafrecht bevat de voorshriften volges welke het abstracte strafrech in concretis tot gelding moet worden gebracht).

Menurut Eddy O.S. Hiariej, hakikatnya hukum acara pidana memuat kaidah-kaidah yang mengatur tentang penerapan atau tata cara lain penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan.


B. Sejarah Hukum Acara Pidana Di Indonesia


Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda

Pada tanggal 1 Agustus 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal 3 Desember 1847 Staatblaad No. 57 maka di Indonesia  (Hindia Belanda), berlakulah Inlands Reglements atau di singkat IR. Diberlakukan hukum IR (Inlands Reglements staatblaad No.16) untuk orang pribumi dan Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Regelement of strafvordering (Hukum Acara Pidana) dan reglement of the burgelijke recht vordering (hukum acara perdata) untuk bangsa Eropa. Nama pengadilannya adalah Raad Van Justitie yang sekarang menjadi pengadilan tinggi. IR masih memuat Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Rancangan IR tersebut penyusunannya diketahui oleh Mr. Wichers dan mendapat tanda tangan dari Gubernur Jenderal Rochussen sehingga mengalami perubahan. Akhirnya, setelah mendapatkan pengesahan Raja Belanda melalui firman Raja tanggal 29 September 1849 diumumkan dan disebarluaskan dalam Staatblaad 1849 No. 63. Setelah IR diubah beberapa kali akhirnya dengan Staatblaad 1941 No. 44 diumumkan dengan Het Herziene Inlands Reglement atau disingkat HIR.

Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang

Pada zaman Jepang tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang hukum. UU No. 1 Tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942 Pasal 3, menyatakan: Semua badan Pemerintah tetap diakui asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.

Hukum Acara Pidana setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Berdasar ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945 ini”. Dengan Aturan peralihan ini maka secara sah HIR masih tetap berlaku, namun pada tahun 1948 HIR diganti namanya menjadi Reglements Indonesia yang diperbaharui dan disingkat RIB. Dengan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 HIR/RIB diunifikasikan dan berdasar Pasal 6 ayat 1 maka HIR/RIB dipakai sebagai pedoman Hukum Acara Pidana berlaku sampai tahun 1981.

Riwayat Penyusunan KUHAP

Periode kejayaan HIR telah berakhir. Semasa HIR berjaya di negeri ini, kita sering  mendengar  atau  membaca  pendapat  yang  mengecam HIR  warisan pemerintah kolonial Belanda dan karenanya tidak cocok lagi dengan kehidupan bangsa Indonesia merdeka. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa HIR menganut sistem inkuisitur yang menganggap tersangka sebagai objek, dan sistem ini sering dipertentangkan dengan sistem akusatur.

Perbedaan Antara HIR dan KUHAP

Oleh karena dipandang tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembangunan di bidang hukum dan cita hukum nasional, maka HIR diganti dengan Undang- undang Hukum Acara Pidana yang bersifat kodifikatif dan unifikatif serta dianggap dapat memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia seimbang dengan kepentingan umum. Letak perbedaan yang pokok antara KUHAP dan HIR yaitu
  1. Dalam sistem tindakan, HIR menonjolkan kekuasaan dari pejabat pelaksana Hukum, sedangkan KUHAP mengutamakan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
  2. Dalam sistem pemeriksaan, HIR memberi perhatian lebih diutamakan pada fungsionalisasi pejabat yang diserahkan kekuasaan dan menempatkan terdakwa sebagai obyek, sedangkan KUHAP memberi perhatian yang lebih besar ditujukan kepada pembinaan sikap petugas pelaksana hukum dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab secara tegas dan tersangka/terdakwa dilindungi oleh asas-asas “praduga tak bersalah” serta perangkat hak-hak tertentu.
  3. Dalam sistem pengawasan, HIR memiliki pengawasan secara vertikal (dari atasan pejabat yang baru), sedangkan KUHAP memiliki pengawasan secara vertikal sekaligus horizontal (dari sesama instansi dan atau unsur-unsur penegak hukum lainnya, misalnya penasihat hukum melalui lembaga pra peradilan).
  4. Dalam tahap pemeriksaan, HIR memiliki proses pidana terdiri atas pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan sidang pengadilan (dan upaya hukum), lalu pelaksanaan putusan Hakim, sedangkan KUHAP memiliki proses pidana terdiri dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan pengadilan (dan upaya hukum).

C. Tujuan Hukum Acara Pidana

Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundang- undangan baru terutama sejak pemerintah Orde Baru cukup menggembirakan dan merupakan titik cerah dalam kehidupan hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah disusunnya KUHAP. Apabila diteliti beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP maka secara singkat KUHAP memiliki lima tujuan sebagai berikut:
  1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa).
  2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan.
  3. Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana.
  4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
  5. Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah dirumuskan mengenai tujuan Hukum Acara Pidana yakni: “Untuk  mencari dan mendapatkan  atau  setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”

Jika menilik rumusan tersebut di atas maka dapat dirinci tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut.
  1. Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
  2. Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.
  3. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Fungsi hukum pidana formal atau hukum acara pidana adalah melaksanakan hukum pidana materiil artinya memberikan peraturan cara bagaimana negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk mempidana atau membebaskan pidana.


D. Sumber Hukum Acara Pidana

Adapun beberapa sumber dasar Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
  1. Undang-Undang  Dasar  1945,  ketentuan  UUD  1945  yang  langsung mengenai Hukum Acara Pidana adalah Pasal 24 ayat  (1) : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2): susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25: syarat- syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan kedua pasal ini mengatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang kedudukannya para hakim. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
  3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
  4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.

E. Asas-Asas Hukum Acara Pidana


Asas Legalitas

Asas Lex Scripta, Hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis untuk menjamin kepastian dalam hukum dan menghindari tindakan aparat penegak hukum tanpa kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang.

Asas Lex Stricta, Aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat selain dari apa yang tertulis karena sifat keresmian dari hukum acara pidana yang menjaga dan melindungi hak asasi manusia

Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Sederhana disini artinya adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Biaya ringan artinya adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Peradilan cepat juga sering disebut dengan asas Contente Justitie serta Fair Trial yang menghendaki proses pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum.

Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tidak bersalah telah diatur dalam Pasal 9 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP dinyatakan bahwa:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Asas Oportunis

Menurut asas oportunis, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Asas legalitas merupakan kebalikan dari asas oportunis karena menurut asas legalitas, penuntut umum wajib menuntut suatu delik.

Asas Pemeriksaan Peradilan Terbuka Untuk Umum

Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa:
  1. Ayat (3) : “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
  2. Ayat (4) : “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.

Asas Persamaan Orang di Hadapan Hukum

KUHAP penjelasan umum butir 3a menegaskan bahwa : “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”
Begitu juga dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan hakim menegaskan bahwa :”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”

Asas Akusator dan Inkisator

Asas akusator dalam acara hukum pidana dimana tersangka tidak menjadi terdakwa akan tetapi pada prinsipnya sama derajat kedudukannya dengan kedudukan jaksa dimana si tersangka biasanya membela diri di hadapan umum. Lawan dari prinsip ini adalah Inquisator yakni tersangka atau terdakwa sebagai objek pemeriksaan.


F. Pihak-Pihak dalam Hukum Acara Pidana

Pelapor atau Pengadu

Pelapor bisa mereka yang menjadi korban dari suatu tindak pidana, bisa juga mereka yang melihat dan menyaksikan tindak pidana tersebut. Adapun pengadu adalah mereka yang menjadi korban dari suatu tindak pidana yang sifatnya delik aduan.

Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana

Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang peradilan.
Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Penyelidik dan Penyidik

Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang  oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Penyidik adalah pejabat polisi negara sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa penyidik adalah :
  1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Penasihat Hukum / Advokat

Pasal 1 angka 13 KUHAP, Penasihat Hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar Undang-Undang untuk memberi bantuan hukum.

Jaksa atau Penuntut Hukum

Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 1 angka 1 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa : “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”

Pasal 1 angka 6 huruf b menyebutkan :”Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim

Hakim

Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan : “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Pasal 1 angka 5 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim : “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.”

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.